Selasa, 11 September 2012

Conversation Siang Bolong


“Eh lu tadi PKN sekelas ama gua kan?” tiba-tiba Rio menyeletuk.

“ngg ya iya kayaknya,” jawabku asal-asalan, ruang kelas yang sepertinya berisi lebih banyak karbon monoksida daripada oksigen itu membuatku malas berpikir. Sekalipun memikirkan apakah aku bakal terkena barbel melayang atau tidak seandainya aku tidak mendengarkan si pemateri yang mirip Agung Hercules itu.

“Nah, lu inget gak kata-katanya tadi? Yang bilang, ‘orang bisa ngubah orang laen tapi gak bisa ngubah dirinya sendiri’?”

“Oh...” aku mulai tertarik untuk berpikir,”Maksudmu kata-kata, ‘banyak orang yang sadar mereka harus mengubah orang lain, tetapi sedikit yang sadar kalau dirinya sendiri harus berubah?”

“iya, iya, yang itu,” kata Rio serius.

Aku sepintas melihat ekspresinya yang seperti berusaha mengusir pikiran akan sebuah kenangan pahit itu. Rio baru saja menceritakan bagaimana ia putus dengan pacarnya yang terakhir, yang baginya mengecewakan, karena menurutnya, mantannya gagal mengubahnya menjadi orang yang lebih baik.

“Nah itu,” katanya sambil memijat dahi dengan tangannya, “itu, kata-kata yang dalem banget buat gua,” lanjutnya getir.

Aku tidak terlalu paham kenapa kata-kata itu yang menohoknya. Kalau aku menafsirkannya, mungkin ia tidak mengerti bagaimana cara mengubah dirinya sendiri , karena itu ia berharap pacarnya lah yang mengubah dia, tetapi baginya, pacarnya gagal. Mungkin karena itu ia jadi merasa gagal mengubah orang agar mereka bisa mengubahnya jadi lebih baik. Nah rumit? Kupikir begitu, makanya jangan paksa aku berpikir, aku cuma bisa merasa.

“Jadi, itu bikin kamu merasa nggak berarti?” tanyaku.

“Iya,” katanya, “rasanya gua nggak berarti banget, nggak bisa ngubah apa-apa”.

Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Aku berpikir, itu juga yang terjadi padaku belakangan itu. Aku sama sekali tidak berarti, dan tidak bisa mengubah apa-apa. Yah, aku tahu setiap manusia pernah mengalami krisis kepribadian seperti ini, tapi mengalaminya tetap saja menyebalkan.

“Yah, tapi kamu nggak denger bu dosen barusan bilang?” aku berujar perlahan.

“Apaan?”

“teori interaksionisme simbolik barusan. Katanya ada teori yang bilang kalau suatu makna itu lahir bersamaan dengan bendanya dilahirkan,” tiba-tiba kata-kata itu terlintas di pikiranku.

Rio menaikkan alisnya pertanda minta penjelasan,”yah,” aku coba menjelaskan, “waktu suatu benda diciptakan, makna dari benda itu juga ikut lahir”.

“Itu artinya,” lanjutku, “ketika kamu dilahirkan, saat itu juga makna kehidupan kamu di dunia ini diciptakan. 
Apa arti keberadaan kamu di dunia ini”.

Hal itu menyadarkanku juga, jika teori ini benar, berarti tidak ada manusia yang dialhirkan tanpa makna kan?
Apakah teori itu benar? Untuk membuktikan kebenaran teori, kita perlu melakukan pengujian kan? Karena itu kita harus terus hidup, dan berjuang.

Rio nyengir. Ia memberiku telapak tangannya. Aku segera menyambutnya dengan menepukkan telapak tanganku ke telapak tangannya sekeras yang aku bisa lakukan di tengah perkuliahan. High five.

Kami kembali ke atas buku catatan masing-masing. Untuk sekejap aku dan Rio akhirnya menyadari betapa berartinya kami untuk mengubah diri kami sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar