“Eh lu tadi PKN
sekelas ama gua kan?” tiba-tiba Rio menyeletuk.
“ngg ya iya
kayaknya,” jawabku asal-asalan, ruang kelas yang sepertinya berisi lebih banyak
karbon monoksida daripada oksigen itu membuatku malas berpikir. Sekalipun
memikirkan apakah aku bakal terkena barbel melayang atau tidak seandainya aku
tidak mendengarkan si pemateri yang mirip Agung Hercules itu.
“Nah, lu inget
gak kata-katanya tadi? Yang bilang, ‘orang bisa ngubah orang laen tapi gak bisa
ngubah dirinya sendiri’?”
“Oh...” aku mulai
tertarik untuk berpikir,”Maksudmu kata-kata, ‘banyak orang yang sadar mereka
harus mengubah orang lain, tetapi sedikit yang sadar kalau dirinya sendiri
harus berubah?”
“iya, iya, yang
itu,” kata Rio serius.
Aku sepintas
melihat ekspresinya yang seperti berusaha mengusir pikiran akan sebuah kenangan
pahit itu. Rio baru saja menceritakan bagaimana ia putus dengan pacarnya yang
terakhir, yang baginya mengecewakan, karena menurutnya, mantannya gagal
mengubahnya menjadi orang yang lebih baik.
“Nah itu,”
katanya sambil memijat dahi dengan tangannya, “itu, kata-kata yang dalem banget
buat gua,” lanjutnya getir.
Aku tidak terlalu
paham kenapa kata-kata itu yang menohoknya. Kalau aku menafsirkannya, mungkin
ia tidak mengerti bagaimana cara mengubah dirinya sendiri , karena itu ia
berharap pacarnya lah yang mengubah dia, tetapi baginya, pacarnya gagal.
Mungkin karena itu ia jadi merasa gagal mengubah orang agar mereka bisa
mengubahnya jadi lebih baik. Nah rumit? Kupikir begitu, makanya jangan paksa
aku berpikir, aku cuma bisa merasa.
“Jadi, itu bikin
kamu merasa nggak berarti?” tanyaku.
“Iya,” katanya,
“rasanya gua nggak berarti banget, nggak bisa ngubah apa-apa”.
Aku mengalihkan
pandanganku dari wajahnya. Aku berpikir, itu juga yang terjadi padaku
belakangan itu. Aku sama sekali tidak berarti, dan tidak bisa mengubah apa-apa.
Yah, aku tahu setiap manusia pernah mengalami krisis kepribadian seperti ini,
tapi mengalaminya tetap saja menyebalkan.
“Yah, tapi kamu
nggak denger bu dosen barusan bilang?” aku berujar perlahan.
“Apaan?”
“teori
interaksionisme simbolik barusan. Katanya ada teori yang bilang kalau suatu
makna itu lahir bersamaan dengan bendanya dilahirkan,” tiba-tiba kata-kata itu
terlintas di pikiranku.
Rio menaikkan
alisnya pertanda minta penjelasan,”yah,” aku coba menjelaskan, “waktu suatu
benda diciptakan, makna dari benda itu juga ikut lahir”.
“Itu artinya,”
lanjutku, “ketika kamu dilahirkan, saat itu juga makna kehidupan kamu di dunia
ini diciptakan.
Apa arti keberadaan kamu di dunia ini”.
Hal itu
menyadarkanku juga, jika teori ini benar, berarti tidak ada manusia yang
dialhirkan tanpa makna kan?
Apakah teori itu
benar? Untuk membuktikan kebenaran teori, kita perlu melakukan pengujian kan?
Karena itu kita harus terus hidup, dan berjuang.
Rio nyengir. Ia
memberiku telapak tangannya. Aku segera menyambutnya dengan menepukkan telapak
tanganku ke telapak tangannya sekeras yang aku bisa lakukan di tengah
perkuliahan. High five.
Kami kembali ke
atas buku catatan masing-masing. Untuk sekejap aku dan Rio akhirnya menyadari
betapa berartinya kami untuk mengubah diri kami sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar